Selembar Daftar Nama

Seno Rahmanto
8 min readSep 2, 2020

--

Hari itu adalah hari dimana semua murid kelas delapan naik ke kelas sembilan. Tentunya buat gue ini adalah salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena di momen inilah gue bisa mendapatkan banyak hal baru, seperti temen baru, kelas baru, guru baru, suasana baru, pacar baru (kalau dapet), dll. Di saat itu gue masih belum tau masuk di kelas mana, ketika daftar ulang pun gue memang sengaja tidak melihat kertas pendaftaran, gue lebih memilih untuk melihat satu persatu daftar nama yang ditempel di kaca tiap kelas, niatnya biar lebih surprise aja gitu, padahal nyusahin diri sendiri.

Untuk langkah awal, gue mencoba melihat kaca kelas sembilan satu. Ternyata gak ada nama gue di situ. Oke, lanjut ke kelas di sebelahnya dan masih belum ketemu juga, kelas berikutnya lagi masih sama gak ketemu, sampai akhirnya gue berdiri tepat di depan kelas sembilan delapan, memandangi selembar kertas yang tertempel di kacanya dengan sangat hati-hati.

Akhirnya gue menemukan nama “Seno Rahmanto” tertulis jelas di kertas itu. Gak cuma ngeliat nama sendiri, gue pun juga melihat semua nama-nama yang ada di kertas itu. Gue sangat-sangat bersyukur saat itu karena banyak nama yang gue kenal ada di kertas tersebut. Jadinya gak perlu repot-repot kenalan karena emang udah kenal dari kelas delapan.

Tapi setelah diperhatiin lebih detil lagi, mata gue tertuju pada satu nama yang cukup bikin gue kaget, gemeteran, kencing di celana, sekaligus hopeless pada saat itu. Di kertas itu, tepatnya di atas nama gue persis, tertulis jelas nama mantan gue, mantan yang baru aja putus waktu liburan kenaikan kelas. tuh gue bold biar jelas.

“Ini Tuhan bercanda ya? nempatin mantan yang baru aja putus di kelas yang sama? Maksudnya gimana coba? biar bisa balikan gitu” Ucap gue dalam hati.

Padahal baru aja putus, tapi nanti harus satu kelas. Kebayang akan se-akward apa. Dengan setengah lesu gue pun memutuskan untuk pulang ke rumah.

Hari senin pun tiba, hari pertama kita resmi jadi murid kelas tiga. Selesai upacara kita pun mulai masuk ke kelas dan ajaibnya gue ketemu mantan gue tepat di depan pintu kelas dan tiba-tiba dia ngajakin balikan. Dan gue pun meng-iya-kan.

Enggak deng.

Begitu pertama masuk kelas gue bingung harus duduk dimana, karena gue kurang cekatan waktu itu, dan beberapa bangku belakang sudah terisi oleh beberapa murid, akhirnya cuma kedapetan bangku paling depan di barisan kedua setelah meja guru. Sial. Jadi gak bisa nyontek dan tidur kalau gini jadinya. Tapi karena bangku belakang sudah penuh gue pun cuma bisa pasrah menerima kenyataan.

Gue duduk dengan anak bernama Rifqi, jujur pas kelas delapan gue gak begitu deket sama dia, tapi ya paling tidak gak perlu kenalan dari awal lagi sama dia. Rifqi ini anak yang super ngeselin, ngomongnya selalu blak-blakan, dan paling seneng gangguin dua anak cewek di bangku belakang kita, yaitu Rima dan Eva.

Rima ini salah satu anak tajir di zaman gue dulu, karena yang gue tau dia adalah pemilik hape BB pertama di angkatan. Lalu ada Eva yang baru gue kenal, anaknya baik dan suka sama fotografi. Di belakangnya lagi, barulah mantan gue (nama sengaja tidak disebutkan) yang duduk bareng sama salah satu temen osis gue yaitu Ervina. Gue beruntung dia gak duduk persis di belakang gue waktu itu.

Jauh ke belakangnya lagi ada Dito dan juga Adi. Melampir ke baris kiri ada ketua kelas kita yaitu Joko dan salah satu anak pinter di kelas yaitu Arif, atau yang biasa dipanggil Abud. Di belakang mereka ada anak pinter lainnya bernama Laura yang juga temen satu SD gue dulu, dan di sampingnya duduklah Rezky yang isi kepalanya gak ada yang lain selain pramuka.

Lalu di barisan kanan berisi sekumpulan cewek yang kalau lagi gosip berisik banget, yang bikin geng sendiri dan jadi cewek-cewek kekinian di zamannya, ya kalian tau lah pasti di tiap kelas ada modelan cewek-cewek begini. Lalu di paling belakangnya ada Adjie si anak pindahan dan juga Ikhsan atau yang biasa dipanggil “Black”, rasis banget ya?

Dan di barisan paling pojok dekat pintu diisi dengan cewek-cewek alim dan di belakang mereka diisi cowok-cowok “bandel”, ya paham lah maksudnya, tiap kelas pasti ada modelan yang kayak gini juga kan?

Penampakan suasana kelas ketika jam kosong. Maaf kalau komuk.

Kita juga punya wali kelas yang bernama Bapak Hasbih, atau yang biasa anak-anak panggil dengan sebutan Mario Bros, karena muka dan kumisnya mirip banget sama karakter game itu, jadi setiap kali dia masuk kelas, yang ada dipikiran kita pasti theme song dari Mario Bros yang iconic itu. Dia adalah guru Agama yang selalu pake proyektok tiap kali ngejelasin materinya. Bener-bener guru yang memanfaatkan teknologi.

Pada saat awal-awal pertemuan, dan Pak Hasbih memperkenalkan diri, dia bertanya ke murid-murid bagaimana kalau kelas ini sedikit renovasi.

“Jadi ya anak-anak, kayaknya kelas kita lebih bagus kalau dicat ulang ya, gimana setuju?” tanya pak Hasbih ke semua murid.

“Setuju pak!!!” sahut ramai para murid.

“Warna apa ya yang kira-kira bagus?” tanya beliau lagi.

“Pak putih pak”, “pak ijo muda”, “merah, merah”, “ warna ijo lumut pak”, “dongker pak keren!”, “silver pak!”, “pak item metalic dong” teriak beberapa murid memberikan saran dengan semangat.

Lalu, dengan satu tarikan nafas gue teriak memecah keributan “PAK WARNA PINK PAK!!!” jawab gue yakin.

Gue sangat-sangat paham pada saat itu ketika menyebutkan warna feminim itu mata anak-anak pasti pada ngeliatin gue dengan pandangan agak jijik.

Tapi ternyata Pak Hasbih meng-iya-kan masukan itu. Dia bilang “Wah bagus juga kayaknya kalau warna pink, yaudah kalau gitu besok Joko tolong kumpulin uang anak-anak ya kita patungan untuk cat kelas, dan juga minta tolong sama Om Bob aja untuk ngecatnya.”.

“Siap pak” jawab Joko mantap.

Dan akhirnya satu kelas pun menerima pendapat absurd gue. Dan seminggu kemudian warna cat tembok kelas kita beneran berubah jadi pink (seperti di foto), GOKS! Ini kelas satu-satunya yang warna pink, paling nyentrik, dan beda sendiri diantara kelas lain coba. Sembilan tahun sekolah baru kali ini masuk kelas yang temboknya warna pink. Kurang cute apa coba?

Suasana kelas berjalan sebagaimana mestinya. Kelas kita juga kedapetan beberapa guru yang iconic banget di masanya. Seperti Pak Amsar, guru matematika paling killer di sekolah. Lalu ada Pak Sasa, guru bahasa Indonesia yang bagus banget dalam menyampaikan materi. Terus ada guru olahraga gila yang materinya kayak wajib militer dan bikin badan remuk yang bahkan gue udah lupa namanya siapa, lalu ada juga guru seni budaya yang jarang masuk tapi tugas prakteknya paling banyak, kesel gak lo? Ada juga guru tata buku yang selalu menambahkan kata “iya” di setiap akhir kalimat. Yang kalau diitung bisa sampai puluhan bahkan ratusan kali saat mengajar. Bener-bener absurd.

Dari kelas ini lah juga gue bisa bertemu dengan empat orang sahabat gue yang sampai sekarang pun kita masih temenan. Seperti yang mungkin sebagian dari kalian sudah tau siapa aja mereka. Ya mereka adalah Dito, si ATM berjalan di kelas. Joko, ketua kelas yang rajin menabung dan bantu mamah ambil air. Adjie, murid pindahan dari Bandung yang kontroversial. Dan juga Adi, alias Masteng si joki pembalap liar.

Di kelas inilah banyak cerita-cerita masa sekolah gue lahir, seperti salah satunya yaitu cerpen terbaik yang pernah gue tulis, Kenangan di Atas Sepiring Junkfood. Cerita tentang aksi drama kelas sembilan delapan, latihan upacara, buka bersama saat puasa, buka warnet di dalem kelas, study tour ke Jogja, dll. Yang dulu pernah ditulis di blog lama.

Oh ya, buat yang bertanya bagaimana hubungan gue dengan mantan setelah kita satu kelas, jawabannya adalah ya biasa aja ternyata setelah dijalanin. Gue mencoba untuk dewasa dia pun begitu (padahal masih bocah) pada saat itu. Gue masih bisa ngobrol seperti teman biasa dengan dia. Dan untungnya gue bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal konyol seperti ngajak balikan di tengah-tengah pelajaran atau mencoba nangis guling-guling ketika tau kalau mantan gue jadian sama Adjie saat itu.

Well, yang unik ketika kejadian ini terjadi adalah gue jadi belajar kalau ternyata persahabatan kita lebih penting daripada sekedar cewek. Special award buat Masteng yang udah membantu meluruskan masalah ini antara antara kita bertiga pada saat itu.

Drama kelas sembilan delapan.
Buka bersama saat puasa.
Main bareng csgo di kelas. (Maaf fotonya ngeblur)
Bapak Hasbih sang wali kelas.
Foto bareng sekelas saat latihan upacara.
Study tour ke Jogja.

Dan entah kenapa, waktu yang dilaluin bareng anak sembilan delapan terasa begitu cepat dibandingkan waktu-waktu gue di kelas sebelumnya. Banyak kejadian lucu, seru, konyol, goblok, cinta-cintaan, galau, dan sedih, terjadi di sini. Dan tentunya cerita-cerita itu gue tulis lengkap semuanya di blog lama dan gak bisa gue tulis ulang lagi di sini satu persatu, yang sayangnya juga gak sempet gue back-up ketika gue kehilangan blognya.

Tadinya gue sempat berfikir kalau aja tulisan itu masih ada, gue mau menjadikan tulisan ini sebagai penghubung ke semua tulisan yang udah pernah dibuat. Akhirnya format tulisan ini harus berubah drastis. Sangat disayangkan memang.

Ketika di hari terakhir kelulusan pun, gue jadi teringat lagi betapa bersyukur dan beruntungnya bisa masuk di kelas ini. Karena dari kelas ini juga gue bisa bertemu empat orang sahabat gue sampai sekarang. Gue bisa merasakan suasana sekolah paling memoriable di kelas ini.

Gue jadi berfikir lagi, ternyata nasib dan takdir gue di kelas itu ditentuin dari selembar kertas yang ditulis di kaca kelas pada saat pendaftaran ulang itu. Andai aja, nama Seno Rahmanto gak pernah ada di kelas sembilan delapan tapi ada di kelas lain, mungkin belum tentu ceritanya akan begini. Karena semua timeline-nya pasti akan berbeda. Dan mungkin gue gak akan bisa bertemu dan dekat dengan empat orang itu.

Ya, gue sangat-sangat berterima kasih oleh siapa pun orang/guru yang mengurus soal pembagian kelas saat itu.

Terima kasih untuk siapapun yang diam-diam ngambil foto ini.

Dari dulu pun, gue paling suka jadi man behind the screen. Ketika yang lain berlomba untuk berada di panggung, gue memutuskan untuk menyibukan diri berada di belakang layar, lalu diam-diam memotret dan mengabadikan suatu momen dan menyimpannya.

Lalu saat yang di atas panggung turun dari pertunjukannya, waktunya gue untuk bersinar, membagikan momen-momen tersebut, di waktu yang tepat.

--

--

Seno Rahmanto
Seno Rahmanto

Written by Seno Rahmanto

Saya punya mimpi, suatu hari nanti saya bisa menyelamatkan dunia hanya dengan bermodalkan rebahan saja.

No responses yet